Sabtu, Oktober 26BANYUWANGINET
Shadow

Terkenal dengan Aneka Kopinya, Jajaran Komisaris PTPN VI Studi Kopi Banyuwangi

Terkenal dengan Aneka Kopinya, Jajaran Komisaris PTPN VI Studi Kopi Banyuwangi

BANYUWANGI–Jajaran Dewan komisaris PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Banyuwangi, Kamis (10/2/2022). Dipimpin Komisaris Utama PTPN VI, Rio Sarwono, kedatangan mereka ke Banyuwangi untuk melakukan studi banding kopi Banyuwangi yang beraada di wilayah PTPN XII.


Rio menyebut PTPN VI diamanatkan oleh pemerintah untuk menanam kopi seluas 15 hektare di wilayah Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Bibit kopi yang nanti digunakan saat ini ditanam di PTPN XII yang kebunnya banyak di Banyuwangi dan Bondowoso.

“Kami ingin melihat apakah bibit ini akan cocok ditanam di Jambi. Dulu kami pernah menanam menggunakan bibit lain tapi kurang berhasil” kata Rio.

PTPN XII memiliki berbagau unit usaha yang tersebar di wilayah Jawa Timur termasuk Banyuwangi. Selama di Banyuwangi dewam komisaris PTPN VI keliling ke perkebunan kopi milik PTPN XII yang ada di wilayah Banyuwangi.

Banyuwangi sendiri telah terkenal dengan kopinya. Bagi pencinta kopi, sepertinya menjadi wajib untuk menikmati kopi Banyuwangi. Kini mulai banyak petani kopi Banyuwangi yang memproduksi kopinya sendiri dengan pengolahan yang tepat.

Banyak barista kopi Banyuwangi bermunculan menciptakan cita rasa yang khas. Kopi bukan digunting tapi digiling.

Bagi pencinta kopi yang datang ke Banyuwangi, wajib rasanya untuk mencoba tempat-tempat ngopi di kabupaten berjuluk Sunrise of Java itu. Berikut tempat ngopi yang layak dikunjungi saat berada di Banyuwangi.

Kopai Osing, Suhunya Kopi Banyuwangi

Kopi Banyuwangi
Kopi Banyuwangi

Datang ke Banyuwangi tak lengkap rasanya jika tak mencicipi, Kopai Osing. Kopi dalam bahasa suku Osing-suku asli Banyuwangi-adalah kopai.

Di Desa Kemiren, yang dihuni oleh Suku Osing, terdapat Suhunya kopi, Iwan Subekti. Dia merupakan tester kopi dan telah berkeliling ke penjuru dunia sebagai juri kopi.

Brasil, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara Asia Tenggara, telah dikunjunginya untuk menjadi juri.

Iwan membuat kedai kopi Banyuwangi yang dia beri nama Sanggar Genjah Arum. Di tempat ini Anda aka diajak ngopi sembari melihat miniatur desa adat Osing. Di tempat ini terdapat tujuh rumah Osing, yang ditata beraturan dalam warung yang dikemas menjadi perkampungan Osing itu. “Sekali seduh kita bersaudara,” kata Iwan Subekti.

Sebagai orang asli Banyuwangi, Iwan tak ingin budaya Osing ditinggalkan. Itulah yang membuat Iwan membangun sanggar ini, sebagai bentuk cintanya pada Banyuwangi, dan melestarikan budaya Osing.

Sanggar Genjah Arum terletak di lahan seluas sekitar 7.000 meter persegi. Letaknya di dataran tinggi, dengan desain rumah-rumah Osing asli.

Baca Juga: 5 Pantai Tersembunyi di Banyuwangi yang Eksotis

Kursi dan dari kayu, dipadu dengan ornamen-ornamen tempo dulu, banyak menghiasi tempat itu. Iwan mengumpulkan rumah-rumah adat. Bahkan di antara rumah Osing itu ada yang berusia di atas 100 tahun.

Memasuki area Genjah Arum, pengunjung akan disuguhkan musik dari penumbuk padi yang dilantunkan oleh nenek-nenek yang mengenakan jarit. Ngopi terasa kian nikmat, karena biasanya disuguhkan pula tarian gandrung khas Banyuwangi.

Disuguhkan pula jajanan tradisional, tempe, tahu, pisang goreng, kucur, yang langsung dimasak di tempat.

Di tempat itu, aneka macam racikan kopi Banyuwangi disuguhkan. Dengan cangkir kecil dan sendok dari kayu kelapa, kian membawa larut ke alam pedesaan.

Wajib ngopi apabila berkunjung di tempat ini. Bagi yang tak tahan dengan kopi, Iwan memiliki kopi yang tidak membuat mulas di perut. Iwan telah dikenal sebagai suhunya kopi.

Harus benar-benar menikmati kopi di tempat ini. Tidak hanya sekadar minum, namun nikmati satu persatu proses saat meminum kopi.

“Sebelum diminum nikmati dulu aroma kopinya. Angkat cangkir dan dekatkan pada bibir. Hirup aromanya, baru diseruput,” kata Iwan.

Pria kelahiran 1957 itu mengatakan, kopi Banyuwangi termasuk kopi terbaik di dunia. Iwan telah membandingkan dengan kopi asal Banyuwangi, dengan kopi-kopi lainnya, kopi Osing masih lebih unggul.

“Saya ingin menjadikan Banyuwangi sebagai kota kopi. Mempunyai kopi dan kedai kopi yang benar,” kata Iwan.

Namun tidak tiap waktu bisa ke tempat ini. Karena Iwan tidak membuka sanggarnya untuk umum. Harus reservasi dulu untuk ke tempat ini.

Bagi Iwan tidak buka tiap waktu karena ingin menghidupi tempat-tempat ngopi lainnya di Kemiren.

“Saya membuat ini semua bukan untuk mencari uang. Tapi lebih pada menghidupkan budaya Osing. Bagi mereka yang ingin ngopi Kopai Osing, bisa di tempat lainnya di Kemiren, dengan citra rasa yang tidak jauh berbeda,” kata Iwan.

Telah banyak orang-orang top yang datang ke tempat ini. Mulai mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla. Berbagai menteri, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Rini Soemarno, dan menteri dan mantan menteri lainnya.

Kopi Jukung, Kreasi Murid Suhu Kopi Banyuwangi

Iwan Subketi memiliki murid bernama Nidom Mas Joesron. Nidom telah lama mengikuti dan belajar mengolah kopi, mulai memilah, sangrai, hingga menyeduh kopi Banyuwangi pada Iwan Subekti.

Nidom lalu membuka kedai ngopi dengan nama Kopi Jukung. Ini bisa sebagai pilihan bagi para pencinta kopi yang sulit untuk datang ke Genjah Arum. Citra rasanya tidak jauh dengan Kopai Osing milik Iwan Subketi.

Nidom membuat kopi seperti apa yang dilakukan oleh Iwan. Seperti memilih biji kopi paska panen dengan hanya memetik biji kopi berwarna merah. Memisahkan kulit kopi dengan biji (pulping), fermentasi gula yang ada pada kopi, sehingga didapatkan biji kopi yang beraroma manis.

Setelah proses paska panen dilakukan dengan natural, semi wash, full wash dan honey. Selanjutnya grading menggunakan ayakan yaitu mengelompokkan biji sesuai ukuran besar, sedang dan kecil. Lalu dilakukan sortasi, memilah biji utuh, pecah, hitam.

Ini untuk mendapat hasil sangrai yang seragam tingkat kematangannya, karena akan berpengaruh pada cita rasa yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan sangrai, dengan cara yang sederhana mengguakan tungku dan wajan tanah (tembikar), ini untuk menghasilkan kopi yang bisa dinikmati oleh banyak segmen.
Kopi BanyuwangiKopi Banyuwangi: Yhaiku Kopi Jukung

“Kopi Banyuwangi ini bisa dinikmati untuk pemula maupun penikmat kopi sejati,” kata Nidom.

Nidom membuat brand kopi Yhaiku yang merupakan memiliki arti ekspresi orang Osing bermakna pembenaran, sebuah kesimpulan, sebuah keberserahan.

Di Jukung Anda bisa menikmati berbagai cita rasa kopi arabica, robusta, houseblend (campuran robusta dan arabica), caramel, nutty (rasa hazelnut, mede atau coklat), fruity (berasa seperti buah-buahan), spicy (beraroma rempah), cherry (buah kopi yang baru dipetik), green bean (kopi yang sudah dibuang kulitnya), kopi luwak (yang terasa ada amis terbakarnya cangkang siput atau binatang sungai yang dimakan luwak liar).

Jaran Goyang, Kopi Banyuwangi Buatan Pemuda Desa

Kopi Banyuwangi sedang naik daun karena ciri khasnya. Seperti kopi Jaran Goyang dari Desa Kemiren Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

Saat banyak serbuan kopi yang disangrai dengan mesin, kopi Banyuwangi ini tetap mempertahankan roasting tradisional atau disangrai dengan bahan bakar kayu.

Ada dua jenis kopi Jaran Goyang yang diproduksi, arabika dan robusta. Semuanya diproses dengan cara tradisional, dengan menggunakan tungku dan wajan penggorengan dari tanah liat. Tak hanya itu, mereka juga memakai api dari tungku berbahan kayu.

“Kami tetap mempertahankan sangrai ala tradisional. Kami mulai bisnis ini sejak awal tahun 2013. Saat pemuda Desa Kemiren menggelar acara Ngopi 10 ewu (sepuluh ribu) cingkir,” ujar Mastuki, koordinator pemuda Kemiren yang menamakan diri Paguyuban Tholek Kemiren (Pathok) Banyuwangi, dikutip dari detikcom.

Bisnis kopi ini tumbuh, saat para pemuda Desa Kemiren ingin memiliki usaha. Mulai dari hanya 20 kilogram kopi per bulan hingga merambah menjadi 200 kilogram per bulan di tahun 2019 ini.

“Kami dari binaan taster kopi internasional, Setiawan Subekti, yang ingin mengubah mindset kami dari pengangguran menjadi pemilik usaha kopi dengan cara tradisional,” tambah Mastuki.

Cara tradisional dalam menyangrai kopi ini dilakukan, selain hemat, citarasa kopi akan semakin muncul. Tentunya dengan cara yang benar dan sesuai dengan standar yang ada.

“Misal menyangrai kopi itu tidak harus hitam pekat. Tapi kecokelatan dan selalu wangi. Jika hitam maka kopi itu hanya menjadi arang. Tidak bisa dikonsumsi,” tambahnya.

Proses pengolahan kopi Jaran Goyang sendiri seringkali didatangi sejumlah warga maupun wisatawan. Selain melihat, mereka juga mendapatkan edukasi pengolahan kopi secara langsung. Hal ini agar masyarakat mempunyai wawasan yang berbeda terkait citarasa kopi. Karena selama ini masyarakat cenderung beranggapan bahwa kopi itu hitam, kopi itu pahit.

“Kita juga buka Workshop sangrai kopi secara tradisional. Sebagai upaya edukasi kami tentang kopi yang baik dan benar,” tambahnya.

Selain dipasarkan di area Banyuwangi, kopi Kemiren pun juga telah merambah pasar nasional. Penjualan dilakukan secara online dan offline. “Semua pulau di Indonesia. Tapi yang terbanyak di Jakarta dan Surabaya,” jelasnya.

Nama Jaran Goyang sendiri diambil dari salah satu nama ajian sihir pengasihan khas Banyuwangi, yang kemudian di terjemahan dalam tarian yang diberi nama sama, yakni Jaran Goyang.

Diceritakan, dalam tarian tersebut berawal dari seorang dara cantik yang tidak suka dengan seorang laki-laki. Namun karena Ajian si Jaran Goyang yang dia gunakan akhirnya dara cantik tersebut langsung jatuh cinta.

“Kami juga ingin orang yang tidak suka kopi, ketika sekali menikmati kopi ini langsung jatuh cinta selamanya,” kelakar Mastuki.

Kampung Lego, Cara Nikmati Wisata Kopi Banyuwangi

Kedai Kopi Lego menawarkan paket wisata lengkap, mulai kebun kopi hingga minum susu kambing ettawa. Terletak di Lingkungan Lerek, Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro. Desa ini terkenal dengan perkebunan kopi rakyatnya.

Hampir setiap rumah di sana, menanam kopi di pekarangan rumah dan kebunnya. Tak hanya itu, desa ini juga dikenal sebagai kampung ettawa, salah satu sentra peternakan kambing ettawa di Banyuwangi.

Hariyono warga Lerek yang berinisiatif meningkatkan potensi desanya ini mengungkapkan, ide awal membuka wisata agro ini, dipicu dari rendahnya harga kopi rakyat di pasaran. Waktu itu, katanya, harga biji kopi hanya Rp 17–18 ribu/kg. Padahal warga Gombengsari sebagian besar menggantungkan hidupnya dari kebun kopi.

“Kopi kami ini enak rasanya, hasilnya melimpah, tapi kok tidak terlalu berdampak pada ekonomi kami. Saat itu, yang kami lakukan hanya tanam, panen, lalu biji kopinya kami jual. Orang lain yang mengolah biji kopinya. Akhirya kami sadar, sejak akhir 2015 lalu kami ubah,” kata Pak Ho, sapaa akrab Hariono.

Perubahan yang dimaksudkan Pak Ho, adalah mereka mulai memproses kopi sendiri, memproduksi bubuk kopi untuk meningkatkan nilai jual kopinya. “Kita olah bijinya jadi bubuk kopi, kita brand, lalu kita pasarkan sendiri. Dan ternyata, secara ekonomi jauh lebih menguntungkan,” jelas Pak Ho.

Brand yang dijual adalah Kopi Lego (Lerek Gombengsari) dengan enam varian kopi. Yakni kopi luwak, kopi lanang, kopi arabika, kopi robusta, kopi leberica, dan house blend (campuran arabika dan robusta).
Kopi BanyuwangiKopi Banyuwangi: Wisatawan memetik kopi di Lerek Gombengsari

“Kami bikin kemasan per 200 gram, harganya antara Rp 40 ribu hingga 200 ribu, tergantung jenis kopinya. Dalam sebulan, produksi kita mencapai 1,5 kuintal,” kata Pak Ho.

Tidak hanya berhenti di situ, warga desa Gombengsari juga memperkenalkan potensi kopi yang dimilikinya melalui pariwisata. Mereka lalu membuat paket wisata edukasi kopi. Di sini, wisawatan akan dikenalkan berbagai proses kopi.

“Kami tawarkan paket wisata lengkap. Mulai tracking kebun kopi, melihat petik kopi, pemrosesan biji kopi secara tradisional, hingga minum kopi dan menyantap kuliner dan buah lokal khas Gombengsari,” katanya.

Kebun kopi di Gombengsari luasnya mencapai sekitar 400 hektar. Rata-rata, setiap petani memiliki 1-5 hektare, dengan produksi 1,5 ton per hektare.

Dalam satu bulan, kata Pak Ho, rata-rata wisatawan yang datang kesini ada sekitar 200 rombongan.

Wisatawan juga diajak melihat kandang kambing ettawa yang banyak tersebar di rumah penduduk. “Selain bisa membawa pulang hasil roasting kopinya, wisatawan bisa menikmati atraksi perah susu, dan meminum susu kambing secara langsung. Kami ada teknis khusus, susunya tidak bau prengus (bau kambing),” kata Ho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *