Minggu, Oktober 27BANYUWANGINET
Shadow

Hibriditas Kebudayaan Modal Besar Memajukan Daerah

Oleh: Haorrahman Dwi S (Wartawan Harian Surya Jawa Timur)
foto/Haorrahman Dwi S: Seni Hadrah Kuntulan Banyuwangi

Tiga set kostum tari mulai seragam, jarik, omprok (mahkota penutup kepala), serta alat musik hadrah, rebana atau banjari, marawis, bahkan jidor, milik seniman Kabupaten Banyuwangi yang tampil di Festival Janadriyah ke-33, di Kota Riyadh, Arab Saudi, 2019 lalu, semua laku terjual dibeli penonton dengan harga tiga kali lipat dibandingkan di Banyuwangi. Dari pernak-pernik peralatan seni yang dibawa tersebut laku terjual sekitar Rp 33 juta.

Festival Janadriyah merupakan festival budaya tahunan terbesar di Timur Tengah, yang diselenggarakan sejak 1985. Setiap tahunnya festival ini dikunjungi sekitar 12 juta pengunjung dari dalam dan luar Arab Saudi.

Saat itu Banyuwangi mendapat undangan khusus dari KBRI Arab Saudi, untuk tampil di Festival Janadriyah, yang digelar selama empat hari, mulai 1 hingga 4 Januari 2019. Dari yang dijadwalkan menampilkan dua pertunjukan, tim seniman Banyuwangi menampilkan empat pertunjukan hadrah kuntulan karena mereka mendapat respon luar biasa dari penonton di hari pertama.

Ini menunjukkan seni dari Indonesia mendapat tempat terhormat di mata dunia internasional. Mereka menaruh rasa kagum dengan seni hadrah kuntulan yang mungkin baru pertama kali mereka lihat secara langsung.

Hadrah kuntulan hasil dari hibriditas kebudayaan yang merupakan tari tradisional masyarakat Banyuwangi berpadu dengan budaya Timur Tengah. Seni ini perpaduan budaya hadrah dan kuntulan, merupakan seni tari yang diiringi alat musik hadrah dan bernuansa Islami. Dimainkan oleh enam gadis berusia 5 hingga 12 tahun.

Kepopuleran hadrah kuntulan diperkenalkan oleh seorang koreografer dan seniman Banyuwangi, Sumitro Hadi, yang baru saja meninggal dunia pada 26 Desember 2020, akibat virus Covid-19 di RSUD Blambangan. Sumitro Hadi mengenalkan hadrah kuntulan untuk kepentingan festival seni di Surabaya pada 1977.

Saat itu Sumitro menggunakan penari perempuan berkerudung menggunakan omprok yang merupakan mahkota penutup kepala ala penari gandrung, kaus kaki, kaus tangan, dengan kostum yang menutupi aurat. Apabila hadrah lebih mengedepankan unsur musik dan lirik, sementara kuntulan musik dan tarian lebih dominan.

Banyak hibiriditas kebudayaan di Banyuwangi. Hibriditas ini tergambar dalam festival Kuwung yang rutin digelar tiap tahun di Banyuwangi, namun mulai 2020 terpaksa terhenti karena pandemi.

Dalam festival Kuwung yang berarti pelangi tersebut menghadirkan beragam seni budaya yang tumbuh di seluruh pelosok Banyuwangi. Mulai dari budaya Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) hingga budaya dari berbagai pelosok yang banyak menunjukkan hibriditas budaya.

Seperti di Kecamatan Bangorejo seni jarananan berkembang dengan memautkan unsur seni Blambangan (kerajaan awal mula Banyuwangi) dan seni jaranan serta reog dari Mataraman (Jawa Timur bagian barat).

Begitu pula perkembangan seni janger Banyuwangi yang tak lepas dari sentuhan kebudayaan Bali hasil kreativitas Mbah Darji seorang pedagang sapi dari Banyuwangi pada abad ke-19, yang dalam mengadaptasi seni Arja dan Ande-Ande Lumut dari Bali.

Proses adaptasi perjumpaan kebudayaan tersebut menumbuhkan tradisi seni budaya baru yang unik. Hibriditas kebudayaan tersebut sebagai perlambang dari inklusivitas warga Banyuwangi. Orang Banyuwangi tidak anti keanekaragaman, baik suku, agama, maupun budaya.

Keanekaragaman itu justru mampu diolah menjadi modal sosial dalam memajukan daerah. Hasilnya kini Banyuwangi menjadi daerah yang terkenal pariwisatanya, dengan mengandalkan keanekaragaman seni dan budaya sebagai sajian bagi wisatawan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *