Sabtu, Oktober 26BANYUWANGINET
Shadow

Merdeka Belajar, 5 Siswi SMP di Banyuwangi Ini Ciptakan Wastafel Sensor dari Bahan Daur Ulang

Merdeka Belajar, Siswi SMP di Banyuwangi Ini Ciptakan Wastafel Sensor dari Bahan Daur Ulang

BanyuwangiNetProgram Merdeka Belajar yang telah dicanangkan  Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong siswa dan guru untuk lebih kreatif dan inovatif mendesain pembelajaran.

Dengan metode pembelajaran yang kreatif dan menarik, akan memunculkan inovasi yang bermanfaat. Seperti yang dilakukan para siswi kelas 9 SMP Maarif Genteng, Banyuwangi. Mereka membuat wastafel sensor atau tempat cuci tangan tanpa sentuh dari bahan-bahan daur ulang.

Bahan-bahan yang sebelumnya tidak terpakai, seperti galon bekas dan botol air mineral, pipa bekas, kran air yang tidak terpakai, di tangan kreatif mereka menjadi sesuatu yang lebih memiliki nilai guna, yakni wastafel sensor. Apalagi saat ini memperbanyak cuci tangan telah menjadi budaya di era pandemi Covid-19.

Baca Juga: Fasilitas RSUD Blambangan Terlengkap di Banyuwangi

Wastafel sensor ini dibuat oleh siswi kelas 9 secara berkelompok yang diketuai oleh Pinkan Wirda Silviana dan beranggotakan lima orang. Untuk membuat wastafel sensor ini, sebagian galon air mineral bekas menjadi rangka untuk tandon air bersih, dan bagian lainnya menjadi tempat pembuangan air kotor. Kran yang sudah rusak dan tidak terpakai dimanfaatkan ulang sebagai keluarnya air. Saluran air menggunakan pipa bekas yang telah dibengkokkan.

“Wastafel ini menggunakan sensor proximity sebagai komponen utama. Proses pembuatan wastafel sensor proximity ini diawali dengan merangkai modul sesuai skema terlebih dahulu,” kata Pinkan Wirda Silviana, ketua kelompok.

Merdeka Belajar, Siswi SMP di Banyuwangi Ini Ciptakan Wastafel Sensor dari Bahan Daur UlangMerdeka Belajar, Siswi SMP di Banyuwangi Ini Ciptakan Wastafel Sensor dari Bahan Daur Ulang

Pinkan menjelaskan bahan-bahan yang digunakan selain barang daur ulang, juga menggunakan adaptor DC 12 Volt, papan PCB, relay, resistor, dioda, transistor, modul sensor 5 volt, pompa air dan terminal kabel. “Semua bahan itu dirangkai dalam papan PCB menggunakan timah yang disolder,” jelas Pinkan.

“Kemudian rangkaian yang sudah jadi tersebut diletakkan ke dalam wadah toples untuk melindungi rangkaian dari cipratan air. Rangkaian tersebut lalu dihubungkan ke adaptor, pompa air, dan sensor proximity yang diletakkan di ujung kran,” tambahnya.

Pinkan menjelaskan cara kerja wastafel sensor proximity tersebut, ketika tangan diarahkan ke bawah kran secara otomatis sensor akan menerima respon, sehingga membuat pompa air mengalirkan air melalui kran.

Baca Juga: Bertemu Ulama dI Kalibaru dan Glenmore, Bupati Ipuk: Pendidikan Tetap Menjadi Prioritas Banyuwangi

Wastafel sensor proximity ini sangat efektif digunakan dalam sanitasi karena wastafel ini tanpa sentuhan tangan, sehingga mengurangi risiko penyebaran virus covid-19 melalui sentuhan tangan.

“Kami membuat wastafel sensor ini setelah melihat di hotel-hotel. Lalu dengan bimbingan guru di sekolah, kami mencoba untuk membuat sendiri dengan harga yang sangat murah,” kata Pinkan.

Di pasaran harga untuk kran sensor-nya saja masih berada di kisaran Rp 350.000 hingga 500.000. Dengan memanfaatkan bahan-bahan daur ulang jauh lebih murah. Namun bukan itu tujuan dari pembuatan wastafel sensor ini, melainkan pembelajaran budaya kreativitas dan inovatif pada anak didik.

“Kalau yang buat mahasiswa jurusan teknik mungkin itu biasa. Tapi ini yang membuat adalah anak-anak SMP, tentu ini memiliki nilai lebih,” kata guru SMP Maarif Genteng, Harisuddin.

Harisuddin mengatakan bahwa karya  inovasi siswi ini tidak lepas dari metode pembelajaran merdeka belajar, yang membuat anak-anak mendapat kebebasan untuk belajar.

Sebagai bentuk apresiasi, wastafel sensor buatan anak-anak SMP ini diletakaan di gerbang sekolah, sehingga bisa dimanfaatkan dan mendorong siswa lainnya untuk meningkatkan kreativitas mereka.

Banyuwangi Terus Kembangkan Program Merdeka Belajar

Pemkab Banyuwangi sendiri terus mengembangkan Program Merdeka Belajar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memotivasi sekolah yang mengadaptasi program tersebut dengan menggelar Festival Merdeka Belajar (FMB), pada akhir Desember 2021 lalu.

Dalam festival tersebut dilakukan serangkaian pendampingan dan monitoring terhadap program merdeka belajar yang bertujuan menciptakan suasana belajar yang bahagia, merdeka dalam berpikir dan berekspresi bagi siswa maupun para guru.

“Program Merdeka Belajar ini merupakan program yang strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Bagaimana pendidikan kita semakin inklusif dan tidak sekadar terkungkung pada formalitas birokratis,” ungkap Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani.

Dengan konsep Merdeka Belajar, lanjut Ipuk, para siswa dan guru dapat menyesuaikan diri dengan situasi pandemi. Kegiatan belajar mengajar tetap dapat berlangsung melalui berbagai alternatif yang memadai, dengan memanfaatkan media teknologi.

“Menggunakan teknologi, kegiatan pembelajaran akan semakin mudah. Belajar tidak harus di sekolah, namun bisa dilakukan di mana saja. Mungkin di taman, di café, atau tempat lainnya yang membuat siswa merasa nyaman dan senang menerima pelajaran,” kata Ipuk.

Ipuk juga meminta para guru agar mampu menyesuaikan diri dengan penggunaan teknologi sebagai perangkat mengajarnya. “Guru pun juga demikian. Bisa mengajar dari mana saja. Misalnya saat sedang berada di luar daerah, guru tetap bisa memberikan pelajaran kepada siswanya. Jadi tidak ada alasan lagi siswa tidak mendapat pelajaran karena gurunya sedang ada kepentingan,” imbuh Ipuk. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *