Minggu, Oktober 27BANYUWANGINET
Shadow

Naskah Sritanjung Banyuwangi Dalam Aksara Pegon Berusia 131 Tahun

Naskah Sritanjung
Foto arsip Komunitas Pegon/Naskah Sritanjung dari Rogojampi

Naskah Sritanjung dari Rogojampi: Naskah Lengkap yang Hanya Berupa Fotokopi

BanyuwangiNet, Kisah Sritanjung di Banyuwangi teramat populer. Kisah yang menjadi legenda asal-usul nama Banyuwangi itu, tak sekadar terekam dalam cerita tutur saja. Namun, juga terabadikan di sejumlah relief candi hingga naskah-naskah kuno.

Naskah-naskah kuno tentang kisah Sritanjung sendiri bisa ditemukan di Bali dan Banyuwangi. Di Bali sendiri, naskah tersebut dikenal dengan Kidung Sritanjung.

Di antaranya tersimpan di Museum Gedong Kirtya, Buleleng. Naskah Kidung Sritanjung dari Bali juga pernah diteliti oleh Prijono dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda pada 1936.

Naskah Sritanjung di Banyuwangi ditemukan di beberapa perpustakaan. Di antaranya di Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Universitas Indonesia. Naskah-naskah tersebut ditengarai lebih muda dibanding naskah Bali.

Hal ini terlihat dari gaya sastranya, aksara, bahasa hingga bahannya. Naskah Banyuwangi sudah menggunakan aksara pegon, bahasa dan sastranya menggunakan Jawa Pertengahan. Media penulisannya pun tidak lagi lontar, tapi daluwang atau kertas Eropa.

Meski naskah-naskah tersebut disebut naskah Banyuwangi, namun di kota ujung timur pulau Jawa ini, sangat sulit untuk menemukan naskahnya.

Dalam riset filologis yang dilakukan oleh Anis Aminoedin dan kawan-kawan pada 1984, menyebutkan sumber penelitiannya adalah naskah Sritanjung yang ditemukan di Museum Blambangan, Banyuwangi. Namun, saat ini, naskah itu sudah raib. Tak ada di museum dan tak terjejak rimbanya. Sangat disayangkan.

Di Banyuwangi sendiri beredar fotokopi naskah Sritanjung yang lain di sejumlah pihak. Salah satunya di Komunitas Pegon. Naskah yang menggunakan aksara Pegon dan berbahasa Jawa Pertengahan ini, sayangnya tak diketahui asal-usulnya.

Foto arsip Komunitas Pegon: Naskah Sritanjung tak diungkap siapa penulisnya.

Siapa Kolektor Naskah Sritanjung

Siapa kolektornya dan dimana keberadaan naskah aslinya? Padahal, secara kelengkapan teks, naskah fotokopi ini bisa diandalkan.

Kisah Sritanjung dari berbagai teks tersebut, secara garis besar memiliki alur cerita yang sama. Meski terdapat detail yang kadang berbeda atau ada sejumlah fragmen yang hilang.

Di naskah fotokopi ini, kisahnya lengkap. Mulai menceritakan kerajaan Sinduraja yang menjadi setting cerita, Pangeran Sidopekso yang diperintah Raja Hadikromo yang akhirnya berujung pertemuan dengan Sritanjung.

Sritanjung digoda oleh Hadikromo saat Pangeran Sidopekso diutus mencari pusaka di kayangan juga diceritakan. Sampai Sritanjung difitnah dan berakhir tewas ditangan suaminya sendiri. Dimana pada kisah tersebut, nama Banyuwangi muncul

Turut pula diceritakan tentang Sritanjung yang hidup kembali. Lantas bersama suaminya membalas dendam dengan menyerang Hadikromo. Hingga akhirnya meraih kemenangan.

Sidopekso dan Sritanjung pun dinobatkan sebagai raja dan permaisuri baru Kerajaan Sinduraja. Rangkaian kisah tersebut, menggunakan sejumlah tembang. Seperti wukir, mijil, kasmaran, maisolangit.

Naskah yang terdiri dari 180 halaman itu, ditandai kata penghubung setiap halamannya. Kata pertama di halaman selanjutnya ditulis di ujung bawah halaman sebelumnya.

Hal ini menjadi penanda halaman sebelum sistem nomor halaman diterapkan pada naskah. Kolofon penyalinan naskah tersebut juga tercantum.

“Tatkalane mantun nyerat iku asar sih wayah siang rebu punika tanggal ping rolas mangka wulan Syawal sasinipun.”

[Tatkala selesai menulis naskah ini pada hari Rabu siang, tanggal 12 bulan Syawal]

Setelah menutup demikian, sang penulis menceritakan profilnya, walaupun tak menyebutkan namanya. Satu setengah lembar sendiri profil yang ditulisnya. Kurang lebih demikian:

Naskah ini ditulis oleh seseorang yang tinggal di Kota Banyuwangi. Namun, karena tidak kerasan, akhirnya pindah ke Rogojampi.

Di sinilah naskah Sritanjung ini ditulis. Ia beristri hingga tiga kali. Dari istrinya yang pertama, memiliki empat orang putra dan dua orang putri.

Anak yang tertua telah menikah dan ikut suaminya tinggal di kediaman mertuanya di Karangbaru (Karangrejo). Dari pernikahan tersebut telah dianugerahi seorang anak laki-laki.

Kemudian sang penulis naskah menikah lagi dengan seseorang bernama Dewi Maryam dari Lugonto (Rogojampi). Dari pernikahan ini dianugerahi seorang gadis.

Sayangnya, pernikahan tersebut berujung perceraian. Setelah itu, ia kembali menikah dengan seorang perawan yang berasal dari Tukangkayu. Pada pernikahan yang ketiga ini, si penulis mengharap dapat menjadi jodoh dunia akhirat (dadiyo jodoh akhirat).

Diujung naskah terdapat keterangan waktu 13 – 10 – 1314 Hijriyah. Artinya, untuk mengarang profil penulisnya sendiri membutuhkan waktu sehari.

Dari tanggal 12 hingga 13 Syawal. Tanggal tersebut, jika dikonversi ke Masehi, kurang lebih bertepatan dengan 17 Maret 1889. Dengan demikian, naskah ini telah berusia 131 tahun. (*)

Penulis: Komunitas Pegon Banyuwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version