Minggu, Oktober 27BANYUWANGINET
Shadow

Hei Kalian! Dapat Salam dari Desa Sarongan Banyuwangi

Oleh: Haorrahman Dwi S (Wartawan Harian Surya Jawa Timur)

Hei Kalian! Dapat Salam dari Desa Sarongan Banyuwangi

Foto/Haorrahman:
Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi periode 2010-2020, bersama para bhikkhu saat peresmian Wihara Thirta Vanajaya, di Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, 2019 lalu.

Berbicara keanekaragaman, datang saja ke Banyuwangi. Kabupaten paling ujung timur pulau Jawa. Saya masih ingat ketika meliput peresmian Wihara Thirta Vanajaya, di Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, 2019 lalu.

Desa yang letaknya 80 kilometer dari pusat kota Banyuwangi. Desa ini merupakan desa terluas di Banyuwangi, dengan luas wilayah 47,04 kilometer persegi.

Ketertarikan saya meliput acara ini bukan pada seremonial peresmian wiharanya. Namun ada nilai berita lebih dari sekadar seremoni.

Dalam perjalanan menuju wihara, di simpang tiga kami sempat kebingungan harus ke kanan atau ke kiri. Tanpa diminta terdapat pemuda menghampiri, dan menunjukkan arah menuju wihara. Belakangan saya tahu anak muda itu adalah Pemuda Katolik desa setempat yang bertindak sebagai penunjuk jalan.

Itu saya ketahui dari tulisan yang terpampang di kausnya. Ternyata dalam acara ini Pemuda Katolik bertugas sebagai penunjuk jalan dan merapikan kendaraan yang parkir.

Di sekitar wihara tampak pula para pria berseragam Banser dengan baret hitam yang menjadi ciri khasnya. Kalau yang ini sudah tidak perlu lagi ditanyakan apa tugasnya.

Sebelum acara peresmian berlangsung, saya melihat banyak ibu-ibu berjilbab yang sibuk di belakang wihara. Ada yang sedang memasak, merapikan piring dan gelas, menata makanan dan minuman.

Seorang muslim pemilik homestay di depan wihara, mempersilahkan para umat Budha untuk menjadi tempat persinggahan atau bagi mereka yang sekadar ingin ke kamar kecil.

Di peresmian wihara ini, umat Budha diberi kehormatan untuk fokus mengurus isi acara, karena peresmian yang juga dalam rangka memperingati Dhammasanti Waisak 2563/2019 itu, dihadiri seluruh umat Budha di Banyuwangi, dan dari luar Banyuwangi, seperti Surabaya, Jakarta, Bali, dan daerah lainnya.

Lokasi wihara ini hanya berjarak sekitar 20 meter dari masjid Al Falah. Di Sarongan terdapat lima masjid, 18 musala, satu pura, satu wihara, dan empat gereja. Menurut Pendeta Anang Sugeng, tokoh agama di Sarongan, banyak tempat ibadah di desa ini letaknya berdekatan.  “Tempat ibadah saya berhadap-hadapan dengan masjid,” kata pendeta Anang.

Anang mengatakan warga Sarongan telah terbiasa dengan perbedaan. Seperti saat Idul Fitri, tidak hanya umat muslim yang sibuk menyediakan hidangan di rumah untuk tamu yang datang, namun umat agama lain juga melakukan hal serupa.

”Misalnya saat Idul Fitri. Saya juga menyiapkan makanan di rumah. Warga di sini tidak hanya muslim turut silaturahmi dari rumah ke rumah. Tidak peduli apa agamanya,” kata Anang.

Demikian juga ketika ada peringatan-peringatan keagamaan, warga desa terbiasa saling membantu untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.

Menurut Anang, sejak 1970-an, di desa ini sering ada pertemuan bersama masyarakat. Pada pertemuan tersebut, masing-masing pemuka agama akan menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan kerukunan.

Dari desa Sarongan kita belajar inklusivitas warga yang tidak anti keanekaragaman, baik suku, agama, maupun budaya. Keanekaragaman itu mampu diolah menjadi modal sosial untuk memupuk kerukunan umat beragama dan memajukan daerah.

Perlu selalu diingat keanekaragaman yang ada di negeri ini diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan yang kita kenal “Bhinneka Tunggal Ika”, menjadi kekuatan dan kerukunan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *